Tradisi
Ndodok Lawang di
Desa Kedungbang Tayu, Pati
Laporan Mini Riset
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu: M. Rikza Chamami, MSI
Disusun Oleh:
Shoimatul Maghfiroh (123211080)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
I.
PENDAHULUAN
Jawa adalah daerah yang kaya akan
kebudayaan. Kebudayaan tersebut merupakan aset yang harus dijaga dan
dilestarikan. Dikalangan masyarakat Jawa, tentu telinga mereka sudah tidak asing lagi dengan upacara pernikahan.
Meskipun sam-sama di Jawa,
tentu di setiap daerah memiliki tata cara pelaksanaan yang berbeda-beda.
Masyarakat sering
mengadakan upacara
pernikahan yang begitu banyak tahapan dan dianggap
rumit. Mulai dari waktu, tempat,
perlengkapan, semua memiliki syarat tersendiri. Tahapan prosesinya juga panjang. Ada
berbagai macam tahapan
yang ada dalam upacara
pernikahan masyarakat Jawa. Tiap-tiap tahapan dari upacara yang
dilaksanakan sebenarnya memiliki makna dan nilai budaya yang khusus. Akan
tetapi masyarakat sendiri kurang mengetahui maksud, tujuan serta makna
mengadakan upacara tersebut.
Masyarakat juga belum
mengetahui perbedaan tradisi sebelum dan sesudah datangnya Islam. Kebanyakan
dari mereka hanya mengikuti tradisi secara turun temurun, tanpa mengkaji maksud
dan tujuannya lebih lanjut.
Untuk itu,
peneliti menyusun laporan penelitian yang akan menjelaskan bagaimana tahapan
awal dari prosesi pernikahan, yaitu ndodok lawang sebagai tradisi turun menurun
hingga tersentuh oleh Islam.
II.
LANDASAN
TEORI
A.
Tradisi Ndodok Lawang
1.
Definisi Tradisi Ndodok Lawang di Desa
Kedungbang
Hampir setiap desa masih melakukan tradisi-tradisi nenek moyang, termasuk di desa Kedungbang kecamatan Tayu kabupaten Pati. Desa
ini terletak di sebelah barat pusat kota kota Tayu. Memiliki luas 273,200
hektar dengan jumlah penduduk 2023 jiwa dan saat ini merupakan
muslim secara keseluruhan. Hampir 90% masyarakatnya sekarang mayoritas
mengikuti paham Ahlussunah Waljama’ah.
Salah satu tradisi yang ada di desa Kedungbang yaitu Ndodok lawang dalam bahasa Indonesia
sama artinya dengan ‘mengetuk pintu’. Tradisi ndodok lawang merupakan
salah satu rangkaian upacara pernikahan yang dilakukan pra (menjelang)
pernikahan. Menempati urutan pertama pada prosesi pernikahan, sebelum dilakukan
lamaran dan akad nikah. Tradisi ini dilakukan oleh pihak dari laki-laki yang
akan mendatangi rumah perempuan. Tradisi ini merupakan wujud keseriusan yang
ditunjukkan dari pihak laki-laki yang ingin memperistri pihak perempuan. Pihak
perempuan juga akan merasa tenang ketika pihak laki-laki
sudah melakukan tradisi ini.
Tradisi Ndodok lawang merupakan
tahapan yang di dalamnya mempertanyakan tentang kejelasan status kedua belah
pihak (laki-laki dan perempuan). Selain itu juga mengetahui ketersediaan
perempuan apakah menerima niat serius dari laki-laki tersebut atau menolak.
Hal inti dalam prosesi ini adalah menanyakan kelahiran si
perempuan. Bukan hari dan tanggal lahir secara penanggalan nasional, tapi
menurut penanggalan Jawa. Penanggalan ini biasa disebut dengan weton. Sesepuh
akan menghitung weton kedua belah pihak. Apakah hasilnya nanti cocok atau
bahkan menyebabkan keburukan jika niat ini dilanjutkan sampai akad nikah.
2.
Prosesi
Tradisi Ndodok Lawang dan Pemaknaannya
a. Rombongan pihak laki-laki memasuki
rumah pihak perempuan dengan urutan: 1) Sesepuh yang mewakili orang tua dari
pihak laki-laki, 2) Laki-laki yang hendak meminang, dan 3) Orang tua dari pihak
laki-laki.
Calon pengantin laki-laki ditempatkan di tengah, dimaknai sebagai
perlindungan dari keluarganya.
b. Sebelum mendatangi rumah pihak perempuan, pihak
laki-laki harus terlebih dahulu mendatangi punden untuk memberikan sesaji
dengan harapan dapat memperlancar niatannya. Hal ini dimaknai sebagai syarat
meminta izin kepada yang membabat desa.
c.
Pihak perempuan menerima rombongan pihak laki-laki dengan
urutan: 1) Sesepuh yang mewakili oarang tua
dari pihak perempuan, 2) Perempuan yang akan dipinang, dan 3) Orang tua
dari pihak perempuan. Ini dimaknai juga sebagai
perlindungan kepada calon pengantin perempuan.
d.
Orang tua pihak laki-laki melakukan tepangan
(berkenalan) dengan orang tua pihak perempuan. Hal ini
dimaknai sebagai rasa hormat antar kedua belah pihak.
e. Orang tua pihak laki-laki melakukan
tembung, mengutarakan maksud kedatangannya. Menyampaikan maksud hati anaknya
untuk ngembun-embun enjing ajejawah sonten (mengharap embun turun di
pagi hari, dan hujan turun di sore hari), atau mengharap sesuatu yang
menyenangkan, yaitu ingin menikahi anak perempuannya. Ukara “ngembun-embun
enjing ajejawah sonten” juga merupakan wangsalan. Dalam Bahasa
Jawa nama embun pagi adalah awun-awun, hujan gerimis sore hari disebut rerabi;
maksudnya nyuwun rabi atau minta menikah.
f. Menanyakan hari pasaran kelahiran
perempuan. Kemudian mencocokkannya dengan hari pasaran kelahiran laki-laki. Hal
ini biasa disebut weton. Yang bertugas menghitung weton kedua belah
pihak adalah sesepuh yang dianggap memiliki kecakapan menghitung hari kelahiran
dan mampu mengartikan hasil dari perhitungannya. Hal ini
dimaknai untuk meminimalisir datangnya bencana terhadap rumah tangga calon
pengantin dikemudian hari.
g. Setelah weton diketahui, selanjutnya adalah penentuan tanggal, bulan, dan
tahun pernikahan. Menurut adat yang dianut masyarakat desa ini, menentukan
tanggal pernikahan ini sedikit rumit. Meskipun semua tanggal, bulan, dan tahun
baik, tapi ada beberapa persyaratan yang harus ditaati. Kedua calon penganten harus tahu hari pasaran mereka
berdua, berikutnya adalah “hari naas” atau hari kematian bapak atau ibu (jika
ada) yang sudah meninggal. Biasanya orangtua sudah mencatat baik-baik kapan
anaknya lahir, termasuk jam. Lebih mudah kalau punya kitab primbon untuk menghitung
sendiri kapan tanggal baik untuk menikah. Sedangkan untuk bulan dan tahun, bisa
sekehendak calon pengantin atau keluarga karena ini tidak membutuhkan hitungan
khusus.
h.
Selama
para orang tua berunding, laki-laki tidak boleh berada di dalam rumah. Ini
disebut dengan jonggolan. Jonggolan berasal dari tembung jonggol, yang
berarti duduk diam. Di sini, jonggolan
berarti calon pengantin laki-laki ketika sowan,
datang ke rumah orang tua calon pengantin perempuan, tidak melakukan apa-apa,
duduk di teras depan rumah, dan hanya minum air putih. Hal
ini dimaknai sebagai keberanian, kemantapan, dan
kesiapannya untuk menikahi calon pengantin perempuan.
i.
Perempuan
juga tidak boleh berada dalam ruang berunding para orang tua. Dia diharuskan
memasak untuk disajikan kepada calon mertua. Tidak boleh ada yang membantu dan
tidak boleh dimasak sebelum rombongan pihak perempuan memasuki rumah. Jadi,
hasil masakannya benar-benar dari tangannya sendiri. Hal ini dimaknai bahwa perempuan itu wajib
bisa memasak dan pandai mengerjakan pekerjaan rumah.
j.
Setelah pihak laki-laki berpamitan, maka
pihak perempuan mengadakan wilujengan pada
tengah malam. Tujuannya untuk melindungi calon pengantin perempuan agar tidak
diganggu roh-roh jahat. Selain itu dimaksudkan agar pihak laki-laki tidak
membatalkan rencana pernikahan.
3.
Perlengkapan Tradisi Ndodok Lawang
Calon pengantin
laki-laki sowan ke rumah calon mertua
dengan membawa:
a. Gedang setangkep, sebagai simbol
menjodohkan kedua calon pengantin.
b. Weh-wehan, berupa segala
sesuatu baik itu makanan ataupun barang. Weh-wehan
ini tergantung kemampuan ekonomi dari pihak laki-laki. Tidak ada ketentuan
khusus.
Calon pengantin laki-laki sowan ke rumah calon
mertuanya, bersama bapak, ibu, saudara atau sesepuh yang lain. Sebelum keluarga
pengantin laki-laki pulang, keluarga calon
pengantin perempuan menyerahkan:
a.
Kancing gelung. Istilah kancing
gelung berarti 1) tusuk konde untuk mengikat atau mengencangkan ikatan
konde, 2) dhuwung (keris) pengantin. Dulu, para laki-laki berambut panjang. Jika pengertian ini dipakai,
maka kancing gelung ini melambangkan keterikatan calon pengantin laki-laki dan calon pengantin
perempuan.
Pengertian lain kancing gelung adalah dhuwung . Pada acara mantenan,
pengantin laki-laki memakai keris untuk pasren
(supaya asri, maksudnya supaya cakap). Keris juga merupakan senjata untuk
membela keluarga. Selain itu, keris juga merupakan pusaka, dalam pengertian
pasangan baru itu akan memakai warisan ilmu adi luhung sebagai pusaka
dalam mengarungi samudera kehidupan.
b.
Ageman pengantin kakung,
ini biasanya
berupa kain yang akan dipakai saat ijab dan panggih.
Kain yang diberikan biasanya hanya beberapa lembar saja sebagai simbol.
c.
Angsul-angsul atau oleh-oleh berupa makanan
matang (siap dikonsumsi) untuk dibawa pulang.
III.
KONDISI
LAPANGAN
Awal
terbentuknya desa Kedungbang diawali dengan kedatangan salah satu santri Ki
Ageng Asyiq dari Kiringan (bapak dari Syekh Jangkung atau yang dikenal dengan
nama Saridin). Santri itu bernama Sentono yang kemudian dimakamkan di sebelah
barat desa. Makam inilah yang kemudian dijadikan punden tempat
masyarakat melakukan upacara-upacara, seperti memperingati
upacara kabumi(sedekah bumi).
Masyarakat
sampai sekarang masih melestarikan tradisi-tradisi lokal yang menjadi ajaran
leluhur pendahulu mereka. Sama seperti daerah pesisir lainnya, desa ini
memiliki tradisi-tradisi lokal seperti kabumi, tingkep, sepasar, selapan, dan
lain sebagainya. Namun ada satu tradisi yang hanya dimiliki desa-desa disebelah
barat pusat kota (termasuk di Desa Kedungbang) memiliki tradisi Ndodok Lawang.
IV.
ANALISIS
Setelah melakukan penelitian terhadap budaya
lokal berupa tradisi ndodok lawang di
desa Kedungbang, Pati, dapat diuraikan analisis dibawah ini.
Tradisi mengandung pengertian tentang adanya
kaitan masa lalu dengan masa sekarang. Tradisi menunjuk kepada sesuatu yang
diwariskan dari generasi ke generasi, dan wujudnya masih ada sampai sekarang
dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat luas. Tradisi tidak hanya sekedar
diwariskan tetapi juga dikonstruksikan atau serangkaian tindakan yang ditujukan
untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui pengulangan, yang secara
otomatis mengacu kepada kesinambungan dengan masa lalu.
Jadi, peneliti melihat bahwa di dalam tradisi
terdiri dua hal yang sangat penting, yaitu pewarisan dan konstruksi. Pewarisan
menunjuk kepada proses penyebaran tradisi dari masa ke masa, sedangkan
konstruksi menunjuk kepada proses pembentukan atau penanaman tradisi kepada
orang lain. Setelah dilakukan pengamatan, ndodok
lawang di desa ini termasuk dalam kategori tradisi. Tradisi di sini
terlihat dari adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih
dijalankan dalam masyarakat. Masyarakat juga menganggap cara-cara yang telah
ada merupakan yang paling baik dan benar. Tradisi ndodok lawang merupakan salah satu tahapan dalam prosesi pernikahan
yang menempati urutan pertama sebelum melangsungkan akad nikah. Tradisi ini
tergolong dalam tradisi lingkaran hidup.
Peneliti melihat tradisi ndodok lawang di desa ini unik, berbeda dengan ndodok lawang di tempat lain. Ciri khas tradisi ndodok lawang di desa ini adalah calon
pengantin perempuan diharuskan memasak untuk dipersembahkan kepada keluarga
calon pengantin laki-laki. Peralatan memasaknya harus menggunakan peralatan
khas desa dan harus ada tungku kayu bakar. Ia harus mengerjakannya sendiri dan
tidak boleh diarahkan orang lain. Hal ini menunjukkan calon pengantin perempuan
sudah pantas menikah dan siap berumah tangga.
Tradisi ndodok
lawang termasuk dalam budaya lokal. Hal ini terlihat dari kepercayaan
masyarakat. Mereka meyakini kalau roh nenek moyang setelah meninggal masih
berhubungan dengan keluarga yang masih hidup. Maka dari itu, masyarakat masih
melakukan ritual-ritual yang menjadi kepercayaan mereka. Seperti pada tradisi
di atas, yang mengharuskan calon pengantin laki-laki untuk menyediakan sesaji
dan membawanya ke punden dengan
harapan niatannya dapat berjalan dengan lancar. Selain itu juga terlihat dari wilujengan yang dilakukan dari pihak
perempuan, yang tujuannya menolak roh-roh jahat yang bisa menggagalkan rencana
pernikahan. Menurut mereka cara-cara ini adalah yang terbaik dan benar. Hal di
atas merupakan tradisi ndodok lawang
sebelum tersentuh ajaran Isalm.
Ketika Islam masuk ke desa Kedungbang,
masyarakat menerima dengan baik. Islam masuk dengan ajaran perilaku yang
mengedepankan kesamaan derajat manusia di sisi Tuhan tanpa memandang status.
Ajaran tersebut mudah diterima oleh masyarakat karena sikap mereka yang
terkenal dengan keterbukaannya dalam menjalin hubungan dan kerja sama.
Keterbukaan tersebut juga berlaku pada ciri khas budaya lokal. Sehingga yang
terjadi adalah kontak budaya yang menyebabkan adanya proses tarik menarik
antara budaya local dengan budaya yang dibawa oleh Islam. Di sini budaya lokal
tidak sepenuhnya menolak ajaran budaya Islam, sebaliknya Islam juga tidak memaksa
menghilangkan budaya lokal. Peneliti melihat bahwa ketika Islam masuk,
masyarakat desa ini menerima dan menjadikan budaya Islam sebagai kerangka
referensi tindakan.
Setelah Islam menjadi kerangka referensi
tindakan, tradisi ndodok lawang
mengalami pembaharuan. Jika pada masa lalu pihak laki-laki diharuskan membawa sesaji ke punden, maka sekarang beralih mengundang
modin atau ustadz untuk mengadakan
selamatan dan do’a bersama keluarga. Selain itu, yang dahulu pihak perempuan
mengadakan wilujengan di tengah malam
untuk mengusir roh-roh jahat. Sekarang mereka melakukan selamatan pada waktu
setelah shalat Maghrib, dengan mengundang tetangga sebagai ungkapan syukur dan
kabar gembira. Peneliti melihat terdapat kesamaan tujuan, yaitu terletak pada
tujuan memohon kelancaran. Tetapi terdapat perbedaan yang terletak pada yang
disembah, tidak lagi ditujukan kepada ruh-ruh, tetapi kepada Allah SWT.
Nilai-nilai dan norma-norma pada tradisi
ndodok lawang yang dinilai sudah sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam, maka tetap
dipertahankan. Dan nilai-nilai yang kurang sesuai dengan ajaran Islam, maka
dilakukan pembaharuan tanpa menghilangkan inti dari tradisi tersebut.
V.
KESIMPULAN
Dari analisis di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa ndodok lawang di desa ini
termasuk dalam kategori tradisi. Tradisi di sini terlihat dari adat kebiasaan
turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam masyarakat.
Masyarakat juga menganggap cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik
dan benar. Tradisi ndodok lawang
merupakan salah satu tahapan dalam prosesi pernikahan yang menempati urutan
pertama sebelum melangsungkan akad nikah. Tradisi ini tergolong dalam tradisi
lingkaran hidup. Pelaksanaan tradisi ndodok lawang
di desa ini unik, dengan ciri khasnya yaitu calon pengantin perempuan
diharuskan memasak untuk dipersembahkan kepada keluarga calon pengantin
laki-laki. Tradisi ini masih dilestarikan samapi tersentuh ajaran islam seperti
di era modern saat ini.
VI.
PENUTUP
Demikianlah
laporan mini riset berjudul Tradisi Ndodok
Lawang di Desa Kedungbang Tayu, Pati. Penulis
berharap dapat memberikan kontribusi yang positif bagi pengembangan ilmu Islam
dan Budaya Jawa. Meskipun demikian, penulis menyadari bahwa laporan yang
penulis susun masih jauh dari kesempurnaan. Maka, kritik dan saran yang positif
sangat penulis harapkan demi perbaikan ke depannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Syam, Nur.
2005. Islam Pesisir, Yogyakarta: LkiS.
Wawancara dengan Bapak Ali Radhi sebagai
Pemangku Adat Desa, pada Sabtu, 6
Juni 2015 pukul 11.05 WIB
Wawancara dengan Bapak Ma’ruf sebagai
Sesepuh Desa, pada Minggu, 7 Juni 2015 pukul 18.45 WIB
Wawancara dengan Bapak Sumarofik sebagai
Sekretaris Desa, pada Sabtu, 6 Juni
2015 pukul 09.35 WIB