Minggu, 21 Juni 2015

tradisi ndodok lawang di tayu, pati



Tradisi Ndodok Lawang di Desa Kedungbang Tayu, Pati

Laporan Mini Riset
Disusun guna memenuhi tugas          
Mata Kuliah: Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu: M. Rikza Chamami, MSI



Description: download (2)



Disusun Oleh:
Shoimatul Maghfiroh                          (123211080)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
I.                        PENDAHULUAN
Jawa adalah daerah yang kaya akan kebudayaan. Kebudayaan tersebut merupakan aset yang harus dijaga dan dilestarikan. Dikalangan masyarakat Jawa, tentu telinga mereka sudah tidak asing lagi dengan upacara pernikahan. Meskipun sam-sama di Jawa, tentu di setiap daerah memiliki tata cara pelaksanaan yang berbeda-beda.
Masyarakat sering mengadakan upacara pernikahan yang begitu banyak tahapan dan dianggap rumit. Mulai dari waktu, tempat, perlengkapan, semua memiliki syarat tersendiri. Tahapan prosesinya juga panjang. Ada berbagai macam tahapan yang ada dalam upacara pernikahan masyarakat Jawa. Tiap-tiap tahapan dari upacara yang dilaksanakan sebenarnya memiliki makna dan nilai budaya yang khusus. Akan tetapi masyarakat sendiri kurang mengetahui maksud, tujuan serta makna mengadakan upacara tersebut. Masyarakat juga belum mengetahui perbedaan tradisi sebelum dan sesudah datangnya Islam. Kebanyakan dari mereka hanya mengikuti tradisi secara turun temurun, tanpa mengkaji maksud dan tujuannya lebih lanjut.
Untuk itu, peneliti menyusun laporan penelitian yang akan menjelaskan bagaimana tahapan awal dari prosesi pernikahan, yaitu ndodok lawang sebagai tradisi turun menurun hingga tersentuh oleh Islam.

II.                LANDASAN TEORI
A.       Tradisi Ndodok Lawang
1.      Definisi Tradisi Ndodok Lawang di Desa Kedungbang
Hampir setiap desa masih melakukan tradisi-tradisi nenek moyang, termasuk di desa Kedungbang kecamatan Tayu kabupaten Pati. Desa ini terletak di sebelah barat pusat kota kota Tayu. Memiliki luas 273,200 hektar dengan jumlah penduduk 2023 jiwa dan saat ini merupakan muslim secara keseluruhan. Hampir 90% masyarakatnya sekarang mayoritas mengikuti paham Ahlussunah Waljama’ah.[1]
Salah satu tradisi yang ada di desa Kedungbang yaitu Ndodok lawang dalam bahasa Indonesia sama artinya dengan ‘mengetuk pintu’. Tradisi ndodok lawang merupakan salah satu rangkaian upacara pernikahan yang dilakukan pra (menjelang) pernikahan. Menempati urutan pertama pada prosesi pernikahan, sebelum dilakukan lamaran dan akad nikah. Tradisi ini dilakukan oleh pihak dari laki-laki yang akan mendatangi rumah perempuan. Tradisi ini merupakan wujud keseriusan yang ditunjukkan dari pihak laki-laki yang ingin memperistri pihak perempuan. Pihak perempuan juga akan merasa tenang ketika pihak laki-laki sudah melakukan tradisi ini.
Tradisi Ndodok lawang merupakan tahapan yang di dalamnya mempertanyakan tentang kejelasan status kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan). Selain itu juga mengetahui ketersediaan perempuan apakah menerima niat serius dari laki-laki tersebut atau menolak.
Hal inti dalam prosesi ini adalah menanyakan kelahiran si perempuan. Bukan hari dan tanggal lahir secara penanggalan nasional, tapi menurut penanggalan Jawa. Penanggalan ini biasa disebut dengan weton. Sesepuh akan menghitung weton kedua belah pihak. Apakah hasilnya nanti cocok atau bahkan menyebabkan keburukan jika niat ini dilanjutkan sampai akad nikah.[2]

2.      Prosesi Tradisi Ndodok Lawang dan Pemaknaannya
a.       Rombongan pihak laki-laki memasuki rumah pihak perempuan dengan urutan: 1) Sesepuh yang mewakili orang tua dari pihak laki-laki, 2) Laki-laki yang hendak meminang, dan 3) Orang tua dari pihak laki-laki.
Calon pengantin laki-laki ditempatkan di tengah, dimaknai sebagai perlindungan dari keluarganya.
b.      Sebelum mendatangi rumah pihak perempuan, pihak laki-laki harus terlebih dahulu mendatangi punden untuk memberikan sesaji dengan harapan dapat memperlancar niatannya. Hal ini dimaknai sebagai syarat meminta izin kepada yang membabat desa.
c.       Pihak perempuan menerima rombongan pihak laki-laki dengan urutan: 1) Sesepuh yang mewakili oarang tua  dari pihak perempuan, 2) Perempuan yang akan dipinang, dan 3) Orang tua dari pihak perempuan. Ini dimaknai juga sebagai perlindungan kepada calon pengantin perempuan.
d.      Orang tua pihak laki-laki melakukan tepangan (berkenalan) dengan orang tua pihak perempuan. Hal ini dimaknai sebagai rasa hormat antar kedua belah pihak.
e.        Orang tua pihak laki-laki melakukan tembung, mengutarakan maksud kedatangannya. Menyampaikan maksud hati anaknya untuk ngembun-embun enjing ajejawah sonten (mengharap embun turun di pagi hari, dan hujan turun di sore hari), atau mengharap sesuatu yang menyenangkan, yaitu  ingin menikahi anak perempuannya. Ukarangembun-embun enjing ajejawah sonten”  juga merupakan wangsalan. Dalam Bahasa Jawa nama embun pagi adalah awun-awun, hujan gerimis sore hari disebut rerabi; maksudnya nyuwun rabi atau minta menikah.
f.       Menanyakan hari pasaran kelahiran perempuan. Kemudian mencocokkannya dengan hari pasaran kelahiran laki-laki. Hal ini biasa disebut weton. Yang bertugas menghitung weton kedua belah pihak adalah sesepuh yang dianggap memiliki kecakapan menghitung hari kelahiran dan mampu mengartikan hasil dari perhitungannya. Hal ini dimaknai untuk meminimalisir datangnya bencana terhadap rumah tangga calon pengantin dikemudian hari.
g.      Setelah weton diketahui, selanjutnya adalah penentuan tanggal, bulan, dan tahun pernikahan. Menurut adat yang dianut masyarakat desa ini, menentukan tanggal pernikahan ini sedikit rumit. Meskipun semua tanggal, bulan, dan tahun baik, tapi ada beberapa persyaratan yang harus ditaati. Kedua calon penganten harus tahu hari pasaran mereka berdua, berikutnya adalah “hari naas” atau hari kematian bapak atau ibu (jika ada) yang sudah meninggal. Biasanya orangtua sudah mencatat baik-baik kapan anaknya lahir, termasuk jam. Lebih mudah kalau punya kitab primbon untuk menghitung sendiri kapan tanggal baik untuk menikah. Sedangkan untuk bulan dan tahun, bisa sekehendak calon pengantin atau keluarga karena ini tidak membutuhkan hitungan khusus.
h.      Selama para orang tua berunding, laki-laki tidak boleh berada di dalam rumah. Ini disebut dengan jonggolan. Jonggolan berasal dari tembung jonggol, yang berarti duduk diam. Di sini,  jonggolan berarti calon pengantin laki-laki ketika sowan, datang ke rumah orang tua calon pengantin perempuan, tidak melakukan apa-apa, duduk di teras depan rumah, dan hanya minum air putih. Hal ini dimaknai sebagai keberanian, kemantapan, dan kesiapannya untuk menikahi calon pengantin perempuan.
i.        Perempuan juga tidak boleh berada dalam ruang berunding para orang tua. Dia diharuskan memasak untuk disajikan kepada calon mertua. Tidak boleh ada yang membantu dan tidak boleh dimasak sebelum rombongan pihak perempuan memasuki rumah. Jadi, hasil masakannya benar-benar dari tangannya sendiri. Hal ini dimaknai bahwa perempuan itu wajib bisa memasak dan pandai mengerjakan pekerjaan rumah.
j.        Setelah pihak laki-laki berpamitan, maka pihak perempuan mengadakan wilujengan pada tengah malam. Tujuannya untuk melindungi calon pengantin perempuan agar tidak diganggu roh-roh jahat. Selain itu dimaksudkan agar pihak laki-laki tidak membatalkan rencana pernikahan.[3]

3.      Perlengkapan Tradisi Ndodok Lawang
Calon pengantin laki-laki sowan ke rumah calon mertua dengan membawa:
a.       Gedang setangkep, sebagai simbol menjodohkan kedua calon pengantin.
b.      Weh-wehan, berupa segala sesuatu baik itu makanan ataupun barang. Weh-wehan ini tergantung kemampuan ekonomi dari pihak laki-laki. Tidak ada ketentuan khusus.
Calon pengantin laki-laki sowan ke rumah calon mertuanya, bersama bapak, ibu, saudara atau sesepuh yang lain. Sebelum keluarga pengantin laki-laki pulang, keluarga calon pengantin perempuan menyerahkan:
a.       Kancing gelung. Istilah kancing gelung berarti 1) tusuk konde untuk mengikat atau mengencangkan ikatan konde, 2) dhuwung (keris) pengantin. Dulu, para laki-laki berambut panjang. Jika pengertian ini dipakai, maka kancing gelung ini melambangkan keterikatan calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan.  Pengertian lain kancing gelung adalah dhuwung . Pada acara mantenan, pengantin laki-laki memakai keris untuk pasren (supaya asri, maksudnya supaya cakap). Keris juga merupakan senjata untuk membela keluarga. Selain itu, keris juga merupakan pusaka, dalam pengertian pasangan baru itu akan memakai warisan ilmu adi luhung sebagai pusaka dalam mengarungi samudera kehidupan.
b.      Ageman pengantin kakung, ini biasanya berupa kain yang akan dipakai saat ijab dan panggih. Kain yang diberikan biasanya hanya beberapa lembar saja sebagai simbol.
c.       Angsul-angsul atau oleh-oleh berupa makanan matang (siap dikonsumsi) untuk dibawa pulang.[4]

III.             KONDISI LAPANGAN
Awal terbentuknya desa Kedungbang diawali dengan kedatangan salah satu santri Ki Ageng Asyiq dari Kiringan (bapak dari Syekh Jangkung atau yang dikenal dengan nama Saridin). Santri itu bernama Sentono yang kemudian dimakamkan di sebelah barat desa. Makam inilah yang kemudian dijadikan punden tempat masyarakat melakukan upacara-upacara, seperti memperingati upacara kabumi(sedekah bumi).
Masyarakat sampai sekarang masih melestarikan tradisi-tradisi lokal yang menjadi ajaran leluhur pendahulu mereka. Sama seperti daerah pesisir lainnya, desa ini memiliki tradisi-tradisi lokal seperti kabumi, tingkep, sepasar, selapan, dan lain sebagainya. Namun ada satu tradisi yang hanya dimiliki desa-desa disebelah barat pusat kota (termasuk di Desa Kedungbang) memiliki tradisi Ndodok Lawang.

IV.             ANALISIS
Setelah melakukan penelitian terhadap budaya lokal berupa tradisi ndodok lawang di desa Kedungbang, Pati, dapat diuraikan analisis dibawah ini.
Tradisi mengandung pengertian tentang adanya kaitan masa lalu dengan masa sekarang. Tradisi menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi, dan wujudnya masih ada sampai sekarang dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat luas. Tradisi tidak hanya sekedar diwariskan tetapi juga dikonstruksikan atau serangkaian tindakan yang ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui pengulangan, yang secara otomatis mengacu kepada kesinambungan dengan masa lalu.[5]
Jadi, peneliti melihat bahwa di dalam tradisi terdiri dua hal yang sangat penting, yaitu pewarisan dan konstruksi. Pewarisan menunjuk kepada proses penyebaran tradisi dari masa ke masa, sedangkan konstruksi menunjuk kepada proses pembentukan atau penanaman tradisi kepada orang lain. Setelah dilakukan pengamatan, ndodok lawang di desa ini termasuk dalam kategori tradisi. Tradisi di sini terlihat dari adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam masyarakat. Masyarakat juga menganggap cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar. Tradisi ndodok lawang merupakan salah satu tahapan dalam prosesi pernikahan yang menempati urutan pertama sebelum melangsungkan akad nikah. Tradisi ini tergolong dalam tradisi lingkaran hidup.
Peneliti melihat tradisi ndodok lawang di desa ini unik, berbeda dengan ndodok lawang di tempat lain. Ciri khas tradisi ndodok lawang di desa ini adalah calon pengantin perempuan diharuskan memasak untuk dipersembahkan kepada keluarga calon pengantin laki-laki. Peralatan memasaknya harus menggunakan peralatan khas desa dan harus ada tungku kayu bakar. Ia harus mengerjakannya sendiri dan tidak boleh diarahkan orang lain. Hal ini menunjukkan calon pengantin perempuan sudah pantas menikah dan siap berumah tangga.
Tradisi ndodok lawang termasuk dalam budaya lokal. Hal ini terlihat dari kepercayaan masyarakat. Mereka meyakini kalau roh nenek moyang setelah meninggal masih berhubungan dengan keluarga yang masih hidup. Maka dari itu, masyarakat masih melakukan ritual-ritual yang menjadi kepercayaan mereka. Seperti pada tradisi di atas, yang mengharuskan calon pengantin laki-laki untuk menyediakan sesaji dan membawanya ke punden dengan harapan niatannya dapat berjalan dengan lancar. Selain itu juga terlihat dari wilujengan yang dilakukan dari pihak perempuan, yang tujuannya menolak roh-roh jahat yang bisa menggagalkan rencana pernikahan. Menurut mereka cara-cara ini adalah yang terbaik dan benar. Hal di atas merupakan tradisi ndodok lawang sebelum tersentuh ajaran Isalm.
Ketika Islam masuk ke desa Kedungbang, masyarakat menerima dengan baik. Islam masuk dengan ajaran perilaku yang mengedepankan kesamaan derajat manusia di sisi Tuhan tanpa memandang status. Ajaran tersebut mudah diterima oleh masyarakat karena sikap mereka yang terkenal dengan keterbukaannya dalam menjalin hubungan dan kerja sama. Keterbukaan tersebut juga berlaku pada ciri khas budaya lokal. Sehingga yang terjadi adalah kontak budaya yang menyebabkan adanya proses tarik menarik antara budaya local dengan budaya yang dibawa oleh Islam. Di sini budaya lokal tidak sepenuhnya menolak ajaran budaya Islam, sebaliknya Islam juga tidak memaksa menghilangkan budaya lokal. Peneliti melihat bahwa ketika Islam masuk, masyarakat desa ini menerima dan menjadikan budaya Islam sebagai kerangka referensi tindakan.
Setelah Islam menjadi kerangka referensi tindakan, tradisi ndodok lawang mengalami pembaharuan. Jika pada masa lalu pihak  laki-laki diharuskan membawa sesaji ke punden, maka sekarang beralih mengundang modin atau ustadz untuk mengadakan selamatan dan do’a bersama keluarga. Selain itu, yang dahulu pihak perempuan mengadakan wilujengan di tengah malam untuk mengusir roh-roh jahat. Sekarang mereka melakukan selamatan pada waktu setelah shalat Maghrib, dengan mengundang tetangga sebagai ungkapan syukur dan kabar gembira. Peneliti melihat terdapat kesamaan tujuan, yaitu terletak pada tujuan memohon kelancaran. Tetapi terdapat perbedaan yang terletak pada yang disembah, tidak lagi ditujukan kepada ruh-ruh, tetapi kepada Allah SWT.
Nilai-nilai dan norma-norma pada tradisi ndodok lawang yang dinilai sudah sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam, maka tetap dipertahankan. Dan nilai-nilai yang kurang sesuai dengan ajaran Islam, maka dilakukan pembaharuan tanpa menghilangkan inti dari tradisi tersebut.

V.                KESIMPULAN
Dari analisis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ndodok lawang di desa ini termasuk dalam kategori tradisi. Tradisi di sini terlihat dari adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam masyarakat. Masyarakat juga menganggap cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar. Tradisi ndodok lawang merupakan salah satu tahapan dalam prosesi pernikahan yang menempati urutan pertama sebelum melangsungkan akad nikah. Tradisi ini tergolong dalam tradisi lingkaran hidup. Pelaksanaan tradisi ndodok lawang di desa ini unik, dengan ciri khasnya yaitu calon pengantin perempuan diharuskan memasak untuk dipersembahkan kepada keluarga calon pengantin laki-laki. Tradisi ini masih dilestarikan samapi tersentuh ajaran islam seperti di era modern saat ini.

VI.             PENUTUP
Demikianlah laporan mini riset berjudul Tradisi Ndodok Lawang di Desa Kedungbang Tayu, Pati. Penulis berharap dapat memberikan kontribusi yang positif bagi pengembangan ilmu Islam dan Budaya Jawa. Meskipun demikian, penulis menyadari bahwa laporan yang penulis susun masih jauh dari kesempurnaan. Maka, kritik dan saran yang positif sangat penulis harapkan demi perbaikan ke depannya.




DAFTAR PUSTAKA

Syam, Nur. 2005. Islam Pesisir, Yogyakarta: LkiS.
Wawancara dengan Bapak Ali Radhi sebagai Pemangku Adat Desa, pada Sabtu, 6       Juni 2015 pukul 11.05 WIB
Wawancara dengan Bapak Ma’ruf sebagai Sesepuh Desa, pada Minggu, 7 Juni              2015 pukul 18.45 WIB
Wawancara dengan Bapak Sumarofik sebagai Sekretaris Desa, pada Sabtu, 6 Juni         2015 pukul 09.35 WIB



[1] Wawancara dengan Bapak Sumarofik sebagai Sekretaris Desa, pada Sabtu, 6 Juni 2015 pukul 09.35 WIB
[2] Wawancara dengan Bapak Ali Radhi sebagai Pemangku Adat Desa, pada Sabtu, 6 Juni 2015 pukul 11.05 WIB
[3] Wawancara dengan Bapak Ali Radhi sebagai Pemangku Adat Desa, pada Sabtu, 6 Juni 2015 pukul 11.05 WIB
[4] Wawancara dengan Bapak Ma’ruf sebagai Sesepuh Desa, pada Minggu, 7 Juni 2015 pukul 18.45 WIB
[5] Dr. Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 177

Tidak ada komentar:

Posting Komentar