Kebudayaan
Jawa Pra Islam
MAKALAH
Disusun
guna memenuhi tugas
Mata
Kuliah: Islam dan Kebudayaan Jawa
Dosen Pengampu: Muhammad
Rikza Chamami, M.SI

Disusun Oleh :
1.
Badriyatus Soffa (123211028)
2.
Shoimatul
Maghfiroh (123211080)
3.
Ina Retno Ariani (123411001)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015
I.
Pendahuluan
Indonesia adalah Negara kepulauan.
Dari banyaknya pulau di Indonesia hal ini diimbangi pula pada banyaknya suku
dan budaya yang ada. Pulau Jawa adalah salah satu pulau dengan masyarakat yang
padat. Budaya dipulau Jawa sendiri sangatlah beragam, namun memiliki ciri khas
yang hampir sama. Selain keberagaman budaya, Jawa juga memiliki keberagaman
agama, baik dipengaruhi dari perdagangan, penjajahan, dan sebagainya.
Keberagaman agama ini sudah ada sejak lama, serta pemeluknya dapat hidup
berdampingan.
Namun sebelum fase beragama ini,
masyarakat pulau Jawa tentunya mengalami fase sebelum beragama atau meyakini
Tuhan. Masyarakat
Jawa mempercayai kekuatan alam disadari merupakan penentu dari kehidupan
seluruhnya. Kepercayaan mereka pada kekuatan alam dan yang gaib, disebut
animisme dan dinamisme.
II. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diambil dari
pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian budaya Jawa pra Islam?
2.
Apa pengertian dan contoh kepercayaan animisme ?
3.
Apa pengertian dan contoh kepercayaan dinamisme?
III. Pembahasan
A.
Budaya Jawa Pra Islam
1. Pengertian
dan Budaya Jawa
Budaya atau kebudayaan berasal dari
kata budhayyah (sansekerta) yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi
(budi atau akal) yang berarti hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia.[1]
E.B. Taylor mendefinisikan budaya sebagai
keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terdapat ilmu pegetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, serta kebiasaan yang
didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedang kan menurut R. Linton,
kebudayaan merupakan konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil
tingkah laku yang unsur-unsur pembentukanya didukung dan diteruskan oleh
anggota dari masyaraka tertentu.[2]
Jadi dapat disimpulkan bahwa kebudayaan
merupakan suatu tatanan hidup, way of life, dan kebiasaan.
Jawa dalam istilah lain juga dapat dikenal
dengan Djawa Dwipa atau Djawi. Pulau yang memuat lebih dari 7% luas wilayah
Indonesia dan memiliki kapasitas penduduk terpadat ini ternyata mempunyai
keanekaragaman budaya yang sangat kompleks. Bagaimana tidak? Suku Jawa yang
tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Madura ini mempunyai ribuan
budaya yang unik dan berbeda dari satu daerah ke daerah yang lain. Meskipun
pada dasarnya budaya mereka hampir sama, akan tetapi pasti ada satu titik
nilai, baik tujuan maupun cara tertentu yang membuat hal tersebut berbeda.
Definisi orang Jawa menurut Franz Magnis Suseno
adalah orang yang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa Ibu dan merupakan penduduk
asli pulau Jawa. Menurut Tony Whitten, sebagaimana yang dikatakan oleh Roehayat
Soeriatmaja dan Suryana Afif, The ecology Java and Bali (1996),
mengatakan bahwa penduduk asli pertama pulau Jawa mirip dengan suku Aborigin di
Australia yang disebut dengan Austroloid. Akan tetapi, kemudian mereka
tersingkir oleh pendatang dari Asia Tenggara.[3]
Sedangkan masyrakat Jawa atau suku bangsa Jawa
secara antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidu keseharianya
menggunakan bahasa Jawa degan berbagai dialeknya secara turun temurun.
Masyarakat Jawa adalah orang yang tinggal di daerah Jawa tengah, Jawa Timur,
serta mereka Kediri. Sedangkan di luar wilayah tersebut dinamakan pesisir dan
ujung timur.
Masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan yang
diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi, maupun agama.[4] Hal itu bisa dilihat dalam
sistem kekerabatan masyarakat Jawa, terdapat istilah yang berbeda dalam
penyebutan tingkatan nenek moyang sampai pada tingkatan selanjutnya. Yaitu Wareng,
Udeg-udeg siwur, gantung siwur, gropak sente, dan juga debog bosok. Dengan
demikian, seluruh susunan kerabat dapat terbayang dalam cermin yang berhadapan.
Dalam masyarakat Jawa dikenal dua kaidah dasar
kehidupan yaitu prinsip kerukunan dan prinsip kehormatan (Suseno, 2001). Kedua
prinsip merupakan kerangka normatif yang menentukan bentuk konkrit emua
interaksi. Rukun merupakan bentuk selaras, tenang, dan tentram tanpa
perselisihan dan saling menolong.[5]
Prinsip kerukunan masyarakat Jawa tergambar
dalam kehidupan sehari-hari, dimulai dari pengasuhan anak orang Jawa yang kerap
kali diasuh oleh saudara-saudaranya, serta semboyan “seiyeg saeka praya”
atau gotong royong yang masih dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa. Gotong
royong tersebut meliputi penggarapan lahan pertanian yang dilakukan secara
bersama-sama mulai dari penyebaran penggarapan tanah sampai dengan panen.
Selain itu, dalam membangun rumah juga dilakukan
dengan gotong royong dengan sistem “sambatan”, karena selain
meningkatkan tngkat kepedulian dai masing-masing individu, hal itu juga
menyebabkan kerukunan akan mudah terjalin.
Begitu juga dalam pengambilan keputusan suatu
perkara, masyarakat Jawa menggunakan musyawarah mufakat yang diadakan di
pendopo atau pusat desa dan dihadiri oleh semua masyarakat. Sehingga, semua
orang bebas menyalurkan pendapatnya dan besifat transparan karena diketahui
oleh semua orang. Yang akibatnya dapat mempererat komunikasi antar warga,
sehingga sukar terjadi kesalahpahaman.
Sementara prinsip hormat merupakan cara
seseorang dalam membawa dii untuk mennjukkan sikap menghargai terhadap orang
lain sesua dengan derajat dan kedudukanya. Prinsip horma didasarkan pada
pandangan bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratu secara hirarki yang
merupakan kesatuan selaras tata kerama sosial.
Dalam masyarakat Jawa dikenal dengan adanya
stratifikasi masyarakat yang saling berhadapan, yaitu: priyayi-wong lumprah,
wng gedhe-wong cilik, pinisepuh-kawula muda, santri-abangan, dan sedulur-wong
liyo. Stratifikasi ini menuntut suatu komunikasi yang berbeda dalam
berinteraksi dan mengimplementasikan prinsip rukun dan hormat.
2. Kepercayaan Masyarakat Jawa pra Islam
Sebelum adanya legalitas agama yang mewajibkan
manusia untuk memeluk agama, masyarakat jawa telah memiliki sebuah kepercayaan
adikodrati (percaya pada alam gaib) yang
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam masyarakat Jawa, pendewasaan
dan pemitosan terhadap ruh nenek moyang melahirkan penyembahan ruh nenek moyang
(uncensor worship) yang pada akhirnya melahirkan hukum adat dan
relasi-relasi penduduknya.
Agama asli masyarakat Jawa adalah religion
magic, keberadaan ruh dan kekuatan gaib dianggap sebagai tuhan yang dapat
menolong ataupun sebaliknya dapat mencelakakan. Karena itu, mereka melakukan
serangkaian upacara dengan menggunakan sesajen dan kemenyan sebaga persembahan
kepada ruh nenek moyang maupun kekuatan gaib. Mereka melakukan hal tersebut
untuk berbakti kepada dewa maupun mencari kepuasan batiniyah.
Dalam masyarakat Jawa sendiri terdapat berbagai
macam upacara, baik yang berkatan dengan lingkaran hidup manusia sejak lahir
sampai mati, ataupun upacara yang berkaitan dengan seputar lingkungan hidup
manusia. Upacara-upacara tersebut disebut dengan selametan atau wilujengan.[6]
B.
Kepercayaan Animisme
Para penghuni atau masyarat dulu
hidupnya hanya mengandalkan fisik dan keberanian untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya dengan berburu
binatang di hutan, ditengah kehidupan yang alamiah ini mereka mempelajari panas
dan dingin, hujan dan kekeringan, angin dan badai, terang dan gelap, dan semua
yang terjadi menjadi perhatian mereka secara natural. Dengan terus menerus
mempelajari gejala alam serta kekuatan yang tersembunyi di baliknya, akhirnya
mereka mampu mengenal dan memahami kekuatannya sendiri. Dari pergaulannya
secara langsung dengan kekuatan alam itu timbullah pemahaman baru di kalangan orang
jawa, bahwa setiap gerakan, kekuatan dan kejadian di alam ini disebabkan oleh
makhluk-makhluk yang di ada di sekitarnya. Anggapan adanya kekuatan alam dan
roh makhluk halus itu disebut dengan animisme.[7]
Teori animisme pertama kali
dikemukakan oleh seorang antropolog Edward Burnett Tylor(1832-1917) didalam
bukunya Primitif Cutrure (1873),
disebutkan:
“Dengan adanya peristiwa-peristiwa
seperti mimpi, sakit, dan sebagainya yang dialami oleh orang-orang primitif,
maka peristiwa-peristiwa tersebut membawa mereka kepada adanya pengertian
tentang anima(roh). Dengan pengertian ini lalu mereka membuat kategori tentang
pemisahan tentang roh dan tubuh kasar, mereka lalu berpendapat bahwa
terdapatlah roh pada setiap benda hidup dan juga benda mati”.[8]
Bila
orang meninggal, rohnya hidup terus dan dari sanalah asal kepercayaan roh orang
mati. Roh orang mati dapat mengunjungi manusia yang masih hidup didalam
mimpinya. Lama kelamaan roh orang mati itu dipuja orang dan diangkat menjadi
dewa-dewa. Roh orang yang telah mati menurut paham bangsa primitif pindah
ketubuh binatang hidup, digunung, di pohon kayu, dibatu besar fetish dan
sebagainya. Dan fetish ini bisa mempunyai bentuk apa saja seperti batu, kotak,
gigi binatang dan sebagainya.[9]
Keyakinan animisme dalam masyarakat
ini, menurut penjelasan Suyono terbagi dalam dua macam yaitu fetitisme dan
spiritisme. Fetitisme adalah pemujaan kepada benda-benda berwujud yang tampak
memiliki jiwa atau roh, sedangkan spiritisme adalah pemujaan terhadap roh-roh
leluhur dan makhluk hidup lainnya yang ada di alam ini.[10]
Ada juga kepercayaan animisme yaitu suatu kepercayaan tentang adanya
roh atau jiwa pada benda – benda, tumbuh – tumbuhan, hewan dan juga pada
manusia. Kepercayaan seperti itu adalah agama mereka yang pertama. Semua yang
bergerak dianggap hidup dan memiliki kekuatan gaib / roh yang berwatak baik
maupun buruk. Mereka menyembah kepercayaannya itu dengan jalan mengadakan
upacara yang disertai dengan sesaji.[11]
Pertama, pelaksanaan upacara
dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah agar keluarga mereka terlindung dari roh
yang jahat. Mereka maminta berkah pada roh, dan meminta pada roh jahat agar
mengganggunya. Mereka membuat beberapa monumen yang terbuat dari batu-batu
besar yang kurang halus pengerjaannya sebagai tempat pemujaan untuk memuja
nenek moyang, serta menolak perbuatan hantu yang jahat.
Kedua, tindakan keagamaan lainnya
sebagai sisa peninggalan zaman animisme adalah pemberian sesaji atau sesajen
kanggo asing mbahureksa, mbahe, atau danyang yang berdiam di
pohon-pohon beringin atau pohon besar dan telah berumur tua, disendang-sendang
atau beliak, tempat mata air, dikuburan-kuburan tuadari tokoh terkenal
pada masa lampau atau tempat lainnya yang dianggap keramat dan mengandung
kekuatan gaib atau angker dan wingit atau berbahaya.
Ketiga, penanggalan Jawa yang
memiliki keanekaragaman waktu yang dikodifikasikan olehnya. Sistem penanggalan
hari yang pada pokoknya berlandaskan pada paduan tiga pekan, asing-masingnya
disebut pancawarna atau pasaran, sadrawa, dan saptawara.
Nama-nama hari pancawarna dan sadwara semuanya berasal dari Jawa, yaitu
paing, pon , wage, kliwon, dan legi. Nama hari sadwara adalah tungle, ariang,
wurukung, paing rong, uwas, dan mawulu.
Pada waktu-waktu tertentu dipasang sesajen
supaya roh-roh itu berkenan kepadanya maka yang terdiri dari sekedar makanan
kecil dan bunga, dalam rumah, dikebun dan dipinggir sawah. Ritus religious
dalam masyarakat Jawa adalah slametan. Slametan, suatu upacara makan yang
terdiri atas sesajian, makanan simbolik, sambutan resmi, dan doa, adalah
peristiwa yang sangat sederhana kalau kita menggunakan patokan kula dan
potlatch; akan tetapi upacara ini setara dalam tatanan dan kepadatan
simboliknya.[12]
Bagi orang Jawa upacara keagamaan
berkaitan dengan selamatan :
a)
Berkaitan dengan lingkaran hidup seperti,
1.
selamatan bagi wanita hamil (kehamilan bulan keempat dan
kehamilan bulai ketujuh), selamatan bayi menurut hari kelahirannya
2.
Upacara Tedhak Siten ( bilamana si anak telah mencapai umur
tujuh Lapan yaitu 7x35 hari)
3.
Tetesan dan Khitanan
4.
Ruwatan
5.
Mencari hari baik untuk pindah rumah
b) Berkaitan dengan hari/bulan besar
Islam
c) Berkaitan
dengan kehidupan desa seperti bersih desa, masa tanam,
d) Berkaitan dengan kematian seseorang
seperti,
1. Hari Geblak ( hari meninggalnya)
2. Hari Ketiga (telung dinane)
3. Hari Ketujuh
4. Hari keempat puluh
5. Hari keseratus
6. Mendhak sepisan (satu tahun setelah
meninggal)
7. Mendhak kepindo (dua tahun sesudah
meninggal)
8. Mendhak telu / nyewu (tiga tahun
sesudah meninggal / hari keseribu)
Slametan terdiri dari sekedar makan
bersama menurut suatu cara atau ritus yang pasti.Semua tetangga lelaki dekat
harus diundang. Diatas nasi yang berbentuk kerucut (nasi tumpeng) diucapkan
berkat oleh modin, kemudian hadirin menyantap beberapa suap nasi, lalu sisanya
dibawa kerumah supaya istri dan anakpun memperoleh bagiannya. Slametan dapat
dimengerti sebagai ritus pemulihan keadaan slamet. Selametan mengangkat
adanya kerukunan dan keselarasan, dan demikian keadaan ketentraman masyarakat
dibaharui dan kekuatan-kekuatan yang berbahaya dinetralisasikan. Sekalius,
karena doa yang diucapkan, roh-roh local dimasukan dalam lingkup slametan dan
mereka senang mencium sari makanan itu.
C. Kepercayaan
Dinamisme
Masyarakat
Jawa mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi
pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari merupakan penentu dari kehidupan
seluruhnya. Keberhasilan pertanian tergantung dari kekuatan alam, matahari,
hujan, angin, dan hama, tetapi mereka masih mempercayai kekuatan adikodrati
dibalik semua kekuatan alam itu. Selanjutnya, sebagai sisa peninggalan masa lalu adalah melakukan
tindakan keagamaan dengan berusaha untuk menambah kekuatan batin agar dapat
mempengaruhi kekuatan alam semesta atau jagad
gede. Hal ini dilaksanakan agar semua kekuatan alam yang akan mempengaruhi
kehidupan diri dan keluarganya dapat dikalahkan. [13]
Usaha ini
ditempuh dengan jalan laku prihatin
atau merasakan perih ing batin dengan
cara cegah dahar lawan guling
(mencegah makan dan mengurangi tidur), mutih
(hanya makan makanan yang serba putih seperti nasi putih, minum air atau air
tawar), ngasrep (hanya makan makanan
dan minum minuman yang rasanya tawar atau tanpa gula dan garam), dan berpuasa
pada hari-hari wetonan atau hari
kelahiran. Usaha yang berat adalah melakukan pati geni, yaitu tidak makan, tidak minum dan tidak melihat sinar
apapun selama empat puluh hari empat puluh malam. Usaha untuk menambah kekuatan
batin itu sendiri dilakukan pula dengan cara menggunakan benda-benda bertuah atau
berkekuatan gaib yang disebut jimat,
yakni berupa keris,tombak, songsong jene, batu akik, akar bahar dan kuku macan.
Tindakan kegamaan tersebut adalah sisa-sisa kepercayaan dari zaman dinamisme.[14]
IV. Kesimpulan
A.
Budaya Jawa Pra Islam
1.
Pengertian dan Budaya Jawa
Kebudayaan merupakan suatu tatanan hidup, way
of life, dan kebiasaan. Definisi orang Jawa menurut Franz Magnis Suseno
adalah orang yang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa Ibu dan merupakan penduduk
asli pulau Jawa.
Sedangkan masyrakat Jawa atau suku bangsa Jawa
secara antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidu keseharianya
menggunakan bahasa Jawa degan berbagai dialeknya secara turun temurun.
Masyarakat Jawa adalah orang yang tinggal di daerah Jawa tengah, Jawa Timur,
serta mereka Kediri. Sedangkan di luar wilayah tersebut dinamakan pesisir dan
ujung timur.
2. Kepercayaan Masyarakat Jawa pra Islam
Sebelum adanya legalitas agama yang mewajibkan
manusia untuk memeluk agama, masyarakat jawa telah memiliki sebuah kepercayaan
adikodrati (percaya pada alam gaib) yang
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Agama asli masyarakat Jawa adalah religion
magic, keberadaan ruh dan kekuatan gaib dianggap sebagai tuhan yang dapat
menolong ataupun sebaliknya dapat mencelakakan.
B.
Kepercayaan Animisme
Kepercayaan
animisme merupakan suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda –
benda, tumbuh – tumbuhan, hewan dan juga pada manusia. Kepercayaan seperti itu
adalah agama mereka yang pertama. Semua yang bergerak dianggap hidup dan
memiliki kekuatan gaib / roh yang berwatak baik maupun buruk. Mereka menyembah
kepercayaannya itu dengan jalan mengadakan upacara yang disertai dengan sesaji,
pemberian sesajen, dan penanggalan Jawa yang memiliki keanekaragaman waktu yang
dikodifikasikan olehnya.
C. Kepercayaan
Dinamisme
Masyarakat Jawa
mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi
pergulatan dengan alam. cegah dahar lawan
guling (mencegah makan dan mengurangi tidur), mutih (hanya makan makanan yang serba putih seperti nasi putih,
minum air atau air tawar), ngasrep
(hanya makan makanan dan minum minuman yang rasanya tawar atau tanpa gula dan
garam), dan berpuasa pada hari-hari wetonan
atau hari kelahiran. Tindakan kegamaan tersebut adalah
sisa-sisa kepercayaan dari zaman dinamisme
V. Penutup
Demikian makalah ini penulis sajikan.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyajian makalah ini.
Oleh karena itu, penulis berharap saran, kritik, dan masukan dari pembaca yang
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Dan harapan kami semoga
makalah ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya.
Amin.
Daftar Pustaka
.
Shihab , M.Quraisi. 2007. Sunnah-Syi’ah. Jakarta: Lentera Hati.
Prasetyo. 1991. Ilmu
Budaya Dasar. Solo: Rineka Cipta.
Shodiq. 2013. Potret Islam Jawa. Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra.
Khalil,
Ahmad. 2008. Islam Jawa Sufisme Etika dan
Tradisi Jawa. Malang: Sukses offset.
Amin , Darori. 2000. Islam
dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta, Gama Media Harun
Hadiwijoyo. 1994. Agama Hindu dan Budha,
Jakarta: Gunung Mulia.
http://pujiarianty.blogspot.com/2013/04/islam-budaya-jawa.html
diakses pada hari sabtu, tanggal 28 maret 2015, pukul 09.00 WIB.
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya,
29/03/15, 22:38.
http://geo.fis.unesa.ac.id/web/index.php/en/pkl-plk/223-masyarakat-jawa-dan-kehidupannya,
30/03/2015, 0:35.
BIODATA
Nama
: Shoimatul Maghfiroh
NIM : 123211080
Jurusan/Prodi :
Pendidikan Bahasa Arab
Tempat,
Tanggal Lahir : Pati, 03
Februari 1994
Riwayat
Pendidikan : SD Mabdaul Huda Kedungbang, Tayu
MTs. Miftahul Huda Tayu, Pati
MA Miftahul Huda Tayu, Pati
Alamat : Ds. Kedungbang RT . 03 RW.02, kec.
Tayu, kab. Pati
No.
Hp : 089605812463
Email
: ashoimah@ymail.com
Nama
: Ina Retno Ariani
NIM : 123411001
Jurusan/Prodi :
Pendidikan Bahasa Inggris
Tempat,
Tanggal Lahir : Malang, 21
Januari 1995
Riwayat
Pendidikan : SD 01 Protomulyo
SMP
N 02 Kaliwungu
SMA
N 01 Kaliwungu
Alamat :
Perumahan Kaliwungu Indah B.14 NO.6 RT.11 RW.11,
Protomulyo, Kaliwungu Selatan, Kendal, Kode pos. 51372
No.
Hp :
085600328477
Email
: inanoriani@gmail.com
[2] Prasetyo, Ilmu Budaya Dasar , (Solo: Rineka Cipta, 1991 ), hlm. 47
[3]Shodiq, Potret
Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Zaman, 2013), hlm. 3-4
[4] Shodiq, Potret
Islam Jawa,,,, hlm. 5
[6] Shodiq, Potret
Islam Jawa,,,, hlm. 6-7
[7]http://pujiarianty.blogspot.com/2013/04/islam-budaya-jawa.html
diakses pada hari sabtu, tanggal 28 maret 2015, pukul 09.00 WIB.
[8]Shodiq,
Potret Islam Jawa, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2013, hlm. 8
[9]Shodiq,
Potret Islam Jawa, hlm. 9
[10]Ahmad
Khalil, Islam Jawa Sufisme Etika dan
Tradisi Jawa, Malang: Sukses offset, 2008, hlm. 44-45.
[11]
Darori Amin, MA, Islam dan Kebudayaan
Jawa, Yogyakarta, Gama Media , 2000, hlm. 5-6
[12]Harun
Hadiwijoyo, Agama Hindu dan Budha, Jakarta: Gunung Mulia, 1994, hlm. 17
[13]
Darori Amin, MA, Islam & Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: GAMA MEDIA,
2000) hlm. 9
[14]
Darori Amin, MA, Islam & Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: GAMA MEDIA,
2000) hlm. 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar