Sabtu, 20 Juni 2015

kebudayaan jawa pra islam

Kebudayaan Jawa Pra Islam

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Islam dan Kebudayaan Jawa
Dosen Pengampu: Muhammad Rikza Chamami, M.SI

Description: Description: D:\Other\1528597_863446527033521_5868696900840968420_n.jpg

Disusun Oleh :
1.         Badriyatus Soffa               (123211028)
2.         Shoimatul Maghfiroh        (123211080)
3.         Ina Retno Ariani                (123411001)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015

I.         Pendahuluan
Indonesia adalah Negara kepulauan. Dari banyaknya pulau di Indonesia hal ini diimbangi pula pada banyaknya suku dan budaya yang ada. Pulau Jawa adalah salah satu pulau dengan masyarakat yang padat. Budaya dipulau Jawa sendiri sangatlah beragam, namun memiliki ciri khas yang hampir sama. Selain keberagaman budaya, Jawa juga memiliki keberagaman agama, baik dipengaruhi dari perdagangan, penjajahan, dan sebagainya. Keberagaman agama ini sudah ada sejak lama, serta pemeluknya dapat hidup berdampingan.

Namun sebelum fase beragama ini, masyarakat pulau Jawa tentunya mengalami fase sebelum beragama atau meyakini Tuhan. Masyarakat Jawa mempercayai kekuatan alam disadari merupakan penentu dari kehidupan seluruhnya. Kepercayaan mereka pada kekuatan alam dan yang gaib, disebut animisme dan dinamisme.

II.      Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diambil dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.         Apa pengertian budaya Jawa pra Islam?
2.         Apa pengertian dan contoh kepercayaan animisme ?
3.         Apa pengertian dan contoh kepercayaan dinamisme?

III.   Pembahasan
A.    Budaya Jawa Pra Islam
1.      Pengertian dan Budaya Jawa
Budaya atau kebudayaan berasal dari kata budhayyah (sansekerta) yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi (budi atau akal) yang berarti hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.[1]
E.B. Taylor mendefinisikan budaya sebagai keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terdapat ilmu pegetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedang kan menurut R. Linton, kebudayaan merupakan konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang unsur-unsur pembentukanya didukung dan diteruskan oleh anggota dari masyaraka tertentu.[2]
Jadi dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan suatu tatanan hidup, way of life, dan kebiasaan.
Jawa dalam istilah lain juga dapat dikenal dengan Djawa Dwipa atau Djawi. Pulau yang memuat lebih dari 7% luas wilayah Indonesia dan memiliki kapasitas penduduk terpadat ini ternyata mempunyai keanekaragaman budaya yang sangat kompleks. Bagaimana tidak? Suku Jawa yang tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Madura ini mempunyai ribuan budaya yang unik dan berbeda dari satu daerah ke daerah yang lain. Meskipun pada dasarnya budaya mereka hampir sama, akan tetapi pasti ada satu titik nilai, baik tujuan maupun cara tertentu yang membuat hal tersebut berbeda.
Definisi orang Jawa menurut Franz Magnis Suseno adalah orang yang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa Ibu dan merupakan penduduk asli pulau Jawa. Menurut Tony Whitten, sebagaimana yang dikatakan oleh Roehayat Soeriatmaja dan Suryana Afif, The ecology Java and Bali (1996), mengatakan bahwa penduduk asli pertama pulau Jawa mirip dengan suku Aborigin di Australia yang disebut dengan Austroloid. Akan tetapi, kemudian mereka tersingkir oleh pendatang dari Asia Tenggara.[3]
Sedangkan masyrakat Jawa atau suku bangsa Jawa secara antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidu keseharianya menggunakan bahasa Jawa degan berbagai dialeknya secara turun temurun. Masyarakat Jawa adalah orang yang tinggal di daerah Jawa tengah, Jawa Timur, serta mereka Kediri. Sedangkan di luar wilayah tersebut dinamakan pesisir dan ujung timur.
Masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi, maupun agama.[4] Hal itu bisa dilihat dalam sistem kekerabatan masyarakat Jawa, terdapat istilah yang berbeda dalam penyebutan tingkatan nenek moyang sampai pada tingkatan selanjutnya. Yaitu Wareng, Udeg-udeg siwur, gantung siwur, gropak sente, dan juga debog bosok. Dengan demikian, seluruh susunan kerabat dapat terbayang dalam cermin yang berhadapan.
Dalam masyarakat Jawa dikenal dua kaidah dasar kehidupan yaitu prinsip kerukunan dan prinsip kehormatan (Suseno, 2001). Kedua prinsip merupakan kerangka normatif yang menentukan bentuk konkrit emua interaksi. Rukun merupakan bentuk selaras, tenang, dan tentram tanpa perselisihan dan saling menolong.[5]
Prinsip kerukunan masyarakat Jawa tergambar dalam kehidupan sehari-hari, dimulai dari pengasuhan anak orang Jawa yang kerap kali diasuh oleh saudara-saudaranya, serta semboyan “seiyeg saeka praya” atau gotong royong yang masih dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa. Gotong royong tersebut meliputi penggarapan lahan pertanian yang dilakukan secara bersama-sama mulai dari penyebaran penggarapan tanah sampai dengan panen.
Selain itu, dalam membangun rumah juga dilakukan dengan gotong royong dengan sistem “sambatan”, karena selain meningkatkan tngkat kepedulian dai masing-masing individu, hal itu juga menyebabkan kerukunan akan mudah terjalin.
Begitu juga dalam pengambilan keputusan suatu perkara, masyarakat Jawa menggunakan musyawarah mufakat yang diadakan di pendopo atau pusat desa dan dihadiri oleh semua masyarakat. Sehingga, semua orang bebas menyalurkan pendapatnya dan besifat transparan karena diketahui oleh semua orang. Yang akibatnya dapat mempererat komunikasi antar warga, sehingga sukar terjadi kesalahpahaman.
Sementara prinsip hormat merupakan cara seseorang dalam membawa dii untuk mennjukkan sikap menghargai terhadap orang lain sesua dengan derajat dan kedudukanya. Prinsip horma didasarkan pada pandangan bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratu secara hirarki yang merupakan kesatuan selaras tata kerama sosial.
Dalam masyarakat Jawa dikenal dengan adanya stratifikasi masyarakat yang saling berhadapan, yaitu: priyayi-wong lumprah, wng gedhe-wong cilik, pinisepuh-kawula muda, santri-abangan, dan sedulur-wong liyo. Stratifikasi ini menuntut suatu komunikasi yang berbeda dalam berinteraksi dan mengimplementasikan prinsip rukun dan hormat.
2.      Kepercayaan Masyarakat Jawa pra Islam
Sebelum adanya legalitas agama yang mewajibkan manusia untuk memeluk agama, masyarakat jawa telah memiliki sebuah kepercayaan adikodrati (percaya pada alam gaib)  yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam masyarakat Jawa, pendewasaan dan pemitosan terhadap ruh nenek moyang melahirkan penyembahan ruh nenek moyang (uncensor worship) yang pada akhirnya melahirkan hukum adat dan relasi-relasi penduduknya.
Agama asli masyarakat Jawa adalah religion magic, keberadaan ruh dan kekuatan gaib dianggap sebagai tuhan yang dapat menolong ataupun sebaliknya dapat mencelakakan. Karena itu, mereka melakukan serangkaian upacara dengan menggunakan sesajen dan kemenyan sebaga persembahan kepada ruh nenek moyang maupun kekuatan gaib. Mereka melakukan hal tersebut untuk berbakti kepada dewa maupun mencari kepuasan batiniyah.
Dalam masyarakat Jawa sendiri terdapat berbagai macam upacara, baik yang berkatan dengan lingkaran hidup manusia sejak lahir sampai mati, ataupun upacara yang berkaitan dengan seputar lingkungan hidup manusia. Upacara-upacara tersebut disebut dengan selametan atau wilujengan.[6]

B.     Kepercayaan Animisme
Para penghuni atau masyarat dulu hidupnya hanya mengandalkan fisik dan keberanian untuk  memenuhi kebutuhan konsumsinya dengan berburu binatang di hutan, ditengah kehidupan yang alamiah ini mereka mempelajari panas dan dingin, hujan dan kekeringan, angin dan badai, terang dan gelap, dan semua yang terjadi menjadi perhatian mereka secara natural. Dengan terus menerus mempelajari gejala alam serta kekuatan yang tersembunyi di baliknya, akhirnya mereka mampu mengenal dan memahami kekuatannya sendiri. Dari pergaulannya secara langsung dengan kekuatan alam itu timbullah pemahaman baru di kalangan orang jawa, bahwa setiap gerakan, kekuatan dan kejadian di alam ini disebabkan oleh makhluk-makhluk yang di ada di sekitarnya. Anggapan adanya kekuatan alam dan roh makhluk halus itu disebut dengan animisme.[7]
Teori animisme pertama kali dikemukakan oleh seorang antropolog Edward Burnett Tylor(1832-1917) didalam bukunya Primitif Cutrure (1873), disebutkan:
“Dengan adanya peristiwa-peristiwa seperti mimpi, sakit, dan sebagainya yang dialami oleh orang-orang primitif, maka peristiwa-peristiwa tersebut membawa mereka kepada adanya pengertian tentang anima(roh). Dengan pengertian ini lalu mereka membuat kategori tentang pemisahan tentang roh dan tubuh kasar, mereka lalu berpendapat bahwa terdapatlah roh pada setiap benda hidup dan juga benda mati”.[8]
          Bila orang meninggal, rohnya hidup terus dan dari sanalah asal kepercayaan roh orang mati. Roh orang mati dapat mengunjungi manusia yang masih hidup didalam mimpinya. Lama kelamaan roh orang mati itu dipuja orang dan diangkat menjadi dewa-dewa. Roh orang yang telah mati menurut paham bangsa primitif pindah ketubuh binatang hidup, digunung, di pohon kayu, dibatu besar fetish dan sebagainya. Dan fetish ini bisa mempunyai bentuk apa saja seperti batu, kotak, gigi binatang dan sebagainya.[9]
Keyakinan animisme dalam masyarakat ini, menurut penjelasan Suyono terbagi dalam dua macam yaitu fetitisme dan spiritisme. Fetitisme adalah pemujaan kepada benda-benda berwujud yang tampak memiliki jiwa atau roh, sedangkan spiritisme adalah pemujaan terhadap roh-roh leluhur dan makhluk hidup lainnya yang ada di alam ini.[10]
Ada juga kepercayaan animisme yaitu suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda – benda, tumbuh – tumbuhan, hewan dan juga pada manusia. Kepercayaan seperti itu adalah agama mereka yang pertama. Semua yang bergerak dianggap hidup dan memiliki kekuatan gaib / roh yang berwatak baik maupun buruk. Mereka menyembah kepercayaannya itu dengan jalan mengadakan upacara yang disertai dengan sesaji.[11]
Pertama, pelaksanaan upacara dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah agar keluarga mereka terlindung dari roh yang jahat. Mereka maminta berkah pada roh, dan meminta pada roh jahat agar mengganggunya. Mereka membuat beberapa monumen yang terbuat dari batu-batu besar yang kurang halus pengerjaannya sebagai tempat pemujaan untuk memuja nenek moyang, serta menolak perbuatan hantu yang jahat.
Kedua, tindakan keagamaan lainnya sebagai sisa peninggalan zaman animisme adalah pemberian sesaji atau sesajen kanggo asing mbahureksa, mbahe, atau danyang yang berdiam di pohon-pohon beringin atau pohon besar dan telah berumur tua, disendang-sendang atau beliak, tempat mata air, dikuburan-kuburan tuadari tokoh terkenal pada masa lampau atau tempat lainnya yang dianggap keramat dan mengandung kekuatan gaib atau angker dan wingit atau berbahaya.
Ketiga, penanggalan Jawa yang memiliki keanekaragaman waktu yang dikodifikasikan olehnya. Sistem penanggalan hari yang pada pokoknya berlandaskan pada paduan tiga pekan, asing-masingnya disebut pancawarna atau pasaran, sadrawa, dan saptawara. Nama-nama hari pancawarna dan sadwara semuanya berasal dari Jawa, yaitu paing, pon , wage, kliwon, dan legi. Nama hari sadwara adalah tungle, ariang, wurukung, paing rong, uwas, dan mawulu.
Pada waktu-waktu tertentu dipasang sesajen supaya roh-roh itu berkenan kepadanya maka yang terdiri dari sekedar makanan kecil dan bunga, dalam rumah, dikebun dan dipinggir sawah. Ritus religious dalam masyarakat Jawa adalah slametan. Slametan, suatu upacara makan yang terdiri atas sesajian, makanan simbolik, sambutan resmi, dan doa, adalah peristiwa yang sangat sederhana kalau kita menggunakan patokan kula  dan potlatch; akan tetapi upacara ini setara dalam tatanan dan kepadatan simboliknya.[12]
Bagi orang Jawa upacara keagamaan berkaitan dengan selamatan :
a)      Berkaitan dengan lingkaran hidup seperti,
1.      selamatan bagi wanita hamil (kehamilan bulan keempat dan kehamilan bulai ketujuh), selamatan bayi menurut hari kelahirannya
2.      Upacara Tedhak Siten ( bilamana si anak telah mencapai umur tujuh Lapan yaitu 7x35 hari)
3.      Tetesan dan Khitanan
4.      Ruwatan
5.      Mencari hari baik untuk pindah rumah
b)     Berkaitan dengan hari/bulan besar Islam
c) Berkaitan dengan kehidupan desa seperti bersih desa, masa tanam,
d)   Berkaitan dengan kematian seseorang seperti,
1.      Hari Geblak ( hari meninggalnya)
2.      Hari Ketiga (telung dinane)
3.      Hari Ketujuh
4.      Hari keempat puluh
5.      Hari keseratus
6.      Mendhak sepisan (satu tahun setelah meninggal)
7.      Mendhak kepindo (dua tahun sesudah meninggal)
8.      Mendhak telu / nyewu (tiga tahun sesudah meninggal / hari keseribu)
         Slametan terdiri dari sekedar makan bersama menurut suatu cara atau ritus yang pasti.Semua tetangga lelaki dekat harus diundang. Diatas nasi yang berbentuk kerucut (nasi tumpeng) diucapkan berkat oleh modin, kemudian hadirin menyantap beberapa suap nasi, lalu sisanya dibawa kerumah supaya istri dan anakpun memperoleh bagiannya. Slametan dapat dimengerti sebagai ritus pemulihan keadaan slamet. Selametan  mengangkat adanya kerukunan dan keselarasan, dan demikian keadaan ketentraman masyarakat dibaharui dan kekuatan-kekuatan yang berbahaya dinetralisasikan. Sekalius, karena doa yang diucapkan, roh-roh local dimasukan dalam lingkup slametan dan mereka senang mencium sari makanan itu.

C.    Kepercayaan Dinamisme
            Masyarakat Jawa mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari merupakan penentu dari kehidupan seluruhnya. Keberhasilan pertanian tergantung dari kekuatan alam, matahari, hujan, angin, dan hama, tetapi mereka masih mempercayai kekuatan adikodrati dibalik semua kekuatan alam itu. Selanjutnya, sebagai  sisa peninggalan masa lalu adalah melakukan tindakan keagamaan dengan berusaha untuk menambah kekuatan batin agar dapat mempengaruhi kekuatan alam semesta atau jagad gede. Hal ini dilaksanakan agar semua kekuatan alam yang akan mempengaruhi kehidupan diri dan keluarganya dapat dikalahkan. [13]
Usaha ini ditempuh dengan jalan laku prihatin atau merasakan perih ing batin dengan cara cegah dahar lawan guling (mencegah makan dan mengurangi tidur), mutih (hanya makan makanan yang serba putih seperti nasi putih, minum air atau air tawar), ngasrep (hanya makan makanan dan minum minuman yang rasanya tawar atau tanpa gula dan garam), dan berpuasa pada hari-hari wetonan atau hari kelahiran. Usaha yang berat adalah melakukan pati geni, yaitu tidak makan, tidak minum dan tidak melihat sinar apapun selama empat puluh hari empat puluh malam. Usaha untuk menambah kekuatan batin itu sendiri dilakukan pula dengan cara menggunakan benda-benda bertuah atau berkekuatan gaib yang disebut jimat, yakni berupa keris,tombak, songsong jene, batu akik, akar bahar dan kuku macan. Tindakan kegamaan tersebut adalah sisa-sisa kepercayaan dari zaman dinamisme.[14]










IV.   Kesimpulan
A.    Budaya Jawa Pra Islam
1.      Pengertian dan Budaya Jawa
Kebudayaan merupakan suatu tatanan hidup, way of life, dan kebiasaan. Definisi orang Jawa menurut Franz Magnis Suseno adalah orang yang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa Ibu dan merupakan penduduk asli pulau Jawa.
Sedangkan masyrakat Jawa atau suku bangsa Jawa secara antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidu keseharianya menggunakan bahasa Jawa degan berbagai dialeknya secara turun temurun. Masyarakat Jawa adalah orang yang tinggal di daerah Jawa tengah, Jawa Timur, serta mereka Kediri. Sedangkan di luar wilayah tersebut dinamakan pesisir dan ujung timur.
2.      Kepercayaan Masyarakat Jawa pra Islam
Sebelum adanya legalitas agama yang mewajibkan manusia untuk memeluk agama, masyarakat jawa telah memiliki sebuah kepercayaan adikodrati (percaya pada alam gaib)  yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Agama asli masyarakat Jawa adalah religion magic, keberadaan ruh dan kekuatan gaib dianggap sebagai tuhan yang dapat menolong ataupun sebaliknya dapat mencelakakan.
B.     Kepercayaan Animisme
Kepercayaan animisme merupakan suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda – benda, tumbuh – tumbuhan, hewan dan juga pada manusia. Kepercayaan seperti itu adalah agama mereka yang pertama. Semua yang bergerak dianggap hidup dan memiliki kekuatan gaib / roh yang berwatak baik maupun buruk. Mereka menyembah kepercayaannya itu dengan jalan mengadakan upacara yang disertai dengan sesaji, pemberian sesajen, dan penanggalan Jawa yang memiliki keanekaragaman waktu yang dikodifikasikan olehnya.


C.    Kepercayaan Dinamisme
Masyarakat Jawa mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi pergulatan dengan alam. cegah dahar lawan guling (mencegah makan dan mengurangi tidur), mutih (hanya makan makanan yang serba putih seperti nasi putih, minum air atau air tawar), ngasrep (hanya makan makanan dan minum minuman yang rasanya tawar atau tanpa gula dan garam), dan berpuasa pada hari-hari wetonan atau hari kelahiran. Tindakan kegamaan tersebut adalah sisa-sisa kepercayaan dari zaman dinamisme

V.      Penutup 
      Demikian makalah ini penulis sajikan. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyajian makalah ini. Oleh karena itu, penulis berharap saran, kritik, dan masukan dari pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Dan harapan kami semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Amin.


Daftar Pustaka

.
Shihab , M.Quraisi. 2007. Sunnah-Syi’ah. Jakarta: Lentera Hati.
Prasetyo. 1991. Ilmu Budaya Dasar. Solo:  Rineka Cipta.
Shodiq. 2013. Potret Islam Jawa. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Khalil, Ahmad. 2008. Islam Jawa Sufisme Etika dan Tradisi Jawa. Malang: Sukses offset.
Amin , Darori. 2000.  Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta, Gama Media Harun
Hadiwijoyo. 1994. Agama Hindu dan Budha, Jakarta: Gunung Mulia.
http://pujiarianty.blogspot.com/2013/04/islam-budaya-jawa.html diakses pada hari sabtu, tanggal 28 maret 2015, pukul 09.00 WIB.
BIODATA
Nama                                       : Shoimatul Maghfiroh
NIM                                        : 123211080
Jurusan/Prodi                          : Pendidikan Bahasa Arab
Tempat, Tanggal Lahir            : Pati, 03 Februari 1994          
Riwayat Pendidikan               : SD Mabdaul Huda Kedungbang, Tayu
                                                 MTs. Miftahul Huda Tayu, Pati
                                                MA Miftahul Huda Tayu, Pati
Alamat                                                : Ds. Kedungbang RT . 03 RW.02, kec. Tayu, kab. Pati
No. Hp                                                : 089605812463
Email                                       : ashoimah@ymail.com

Nama                                       : Ina Retno Ariani
NIM                                        : 123411001
Jurusan/Prodi                          : Pendidikan Bahasa Inggris
Tempat, Tanggal Lahir            : Malang, 21 Januari 1995      
Riwayat Pendidikan               : SD 01 Protomulyo
                                                SMP N 02 Kaliwungu
                                                SMA N 01 Kaliwungu
                                   
Alamat                                                : Perumahan Kaliwungu Indah B.14 NO.6 RT.11 RW.11,                                                                Protomulyo, Kaliwungu Selatan, Kendal, Kode pos. 51372
No. Hp                                                : 085600328477
Email                                       : inanoriani@gmail.com





[2] Prasetyo, Ilmu Budaya Dasar , (Solo:  Rineka Cipta, 1991 ), hlm. 47
[3]Shodiq, Potret Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Zaman, 2013), hlm. 3-4
[4] Shodiq, Potret Islam Jawa,,,,  hlm. 5
[6] Shodiq, Potret Islam Jawa,,,,  hlm. 6-7
[7]http://pujiarianty.blogspot.com/2013/04/islam-budaya-jawa.html diakses pada hari sabtu, tanggal 28 maret 2015, pukul 09.00 WIB.
[8]Shodiq, Potret Islam Jawa, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2013, hlm. 8
[9]Shodiq, Potret Islam Jawa, hlm. 9
[10]Ahmad Khalil, Islam Jawa Sufisme Etika dan Tradisi Jawa, Malang: Sukses offset, 2008, hlm. 44-45.              
[11] Darori Amin, MA, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta, Gama Media , 2000, hlm. 5-6
[12]Harun Hadiwijoyo, Agama Hindu dan Budha, Jakarta: Gunung Mulia, 1994, hlm. 17
[13] Darori Amin, MA, Islam & Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: GAMA MEDIA, 2000) hlm. 9
[14] Darori Amin, MA, Islam & Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: GAMA MEDIA, 2000) hlm. 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar